Tidak Sia-sia

Semua bilang aku hanya menjalani hidup yang sia-sia. Namun bagiku, tidak ada hal yang sia-sia di dunia ini. Apa yang aku jalani saat ini adalah bagian dari perjalanan hidup. Kusebut ini takdir, karena sekuat apapun aku melawannya, hatiku tak mampu berubah.

Bagiku, sia-sia berarti hal tersebut tidak berguna. Sedangkan aku merasakan banyak manfaat dari semua ini. Jadi aku tidak sedang menjalani hal yang sia-sia, bukan? Lagi pula semua hal di dunia terjadi pasti ada alasannya. Dan aku percaya, semesta membuatku bertemu dengannya bukan untuk jadi sia-sia.

Aku masih ingat dengan jelas, bagaimana hubunganku dan ayah-ibu merenggang selama 6 bulan karena pilihan hidupku ini. Tapi sungguh, sekuat apapun aku menyangkal, semuanya terlalu sulit untuk kuakhiri. Saat itu ayah bilang, “Apa kamu nggak mikir ke depannya nanti gimana? Kamu ngapain sih seperti ini? Apa ayah gak pernah ngajarin kamu untuk mikir dulu sebelum bertindak, Cha?”

Lika, temanku sejak SMA juga ngatakan hal yang serupa. Katanya, “Cha, lo beneran mau jalanin hubungan lo itu? Ngapain sih? Lo kan tahu ujungnya nanti gimana.” Saat itu kukatakan pada Lika, “Gue cuma mau menikmati hidup gue. Dan gue rasa ketemu sama Tian itu takdir yang harus gue jalanin, Ka. Lagian, gak ada hal yang sia-sia di dunia ini. Kita harus bisa ngambil yang positifnya.”

Entahlah, mungkin aku denial. Mungkin juga aku naif atau memang bodoh. Tapi begitulah aku menjalani hidupku, juga hubunganku dan Tian yang kini berjalan menuju 2 tahun.

Enam bulan pertama, ayah dan ibu bahkan seolah tidak menganggapku sebagai anaknya. Kami tak berbagi kabar selama kurang lebih 6 bulan. Namun mungkin ayah dan ibu sadar, mendiamkanku tidak akan membuat semuanya berakhir begitu saja. Maka mereka mengalah, menerima keputusanku, dan hubungan kami membaik.

Berbeda dengan lingkunganku yang begitu menolak, lingkungan Tian justru sangat supportive. Aku bahkan sangat dekat dengan Mama Maria, ibunda Tian.

Sebulan terakhir, aku dan Tian tidak bertemu. Kami sedang berada dalam masa “berpikir”. Ya, kami tahu seperti apa hubungan kami akan berakhir, karena terlalu sulit untuk bersama.

Selama 2 tahun ini, aku dan Tian tidak punya masalah dalam hubungan. Dia selalu membuatku bahagia, tidak sekali pun aku menangis dibuatnya. Pertengkaran kecil memang sesekali terjadi, namun itu biasanya hanya karena miskomunikasi di antara kami. Entah karena dia telat menjemput atau tak memberi kabar saat keasyikan main game bersama teman-temannya.

Kami sama-sama tahu, ini semua akan berakhir. Itulah sebabnya aku dan Tian membuat sebuah perjanjian untuk tidak membahas masalah ini sebelum hubungan kami berusia 2 tahun. Setidaknya, kami memberi waktu 2 tahun dalam hubungan ini agar kami benar-benar bisa menikmatinya. Seolah 2 tahun itu adalah vonis dokter sebelum semuanya berakhir.

Dan di sinilah kami sekarang, duduk berhadapan di restoran favorit kami. Dua mangkuk soto betawi dengan 3 piring nasi sudah tak bersisa. Di meja hanya ada segelas es teh manis dan es jeruk.

So, how do we start?” tanya Tian.

“Hm…” aku bergumam sambil mengaduk es jeruk di depanku yang esnya mulai mencair, sehingga meninggalkan lapisan bening di bagian paling atas.

“Icha..”

“Ya?”

“Makasih ya, udah ngizinin aku jadi bagian penting dalam hidup kamu 2 tahun ini. Aku tahu suatu hari kita akan ada di titik ini. Dari awal aku tahu, tapi aku terus melangkah ke kamu karena aku tahu bareng sama kamu itu sesuatu yang berharga buat aku, Cha. I do love you.”

So do I, Tian. Gak pernah sedikit pun aku ragu sama perasaan kamu, meski aku tahu semuanya akan berakhir. Makasih untuk bikin aku tumbuh jadi manusia yang jauh lebih baik 2 tahun ini. Maafin ya kalau aku sering rewel.”

“Hahaha… dan aku mungkin bakal kangen banget sama rewelnya kamu itu, Cha!”

Tidak ada kata putus, tapi kami sepakat untuk membuat semuanya berakhir. Karena dari awal kami tahu, hanya sampai di titik ini jalan yang perlu kami lalui bersama sebelum melangkah ke persimpangan masing-masing.

“Bye, Christian.”

“Bye, Annissa.”

Kesempatan

Suasana ruang keluarga Arletta masih ramai, penuh dengan saudaranya. Selain mama dan papanya, ada juga om, tante, dan beberapa sepupunya yang masih bercengkerama. Membahas tentang Brian, pria yang baru saja pulang setelah melamar Arletta.

Obrolan mereka berhenti sesaat ketika terdengar dering HP milik Arletta.

“Ta, HP lo tuh!” kata Neysa, sepupu Arletta, sambil menunjuk ke HP di atas meja yang tengah berdering.

Arletta segera bergerak dan mengambil HP-nya. Ia diam sebentar sebelum menerima telepon, nama Adimas muncul di layar HP-nya. “Halo,” katanya sambil berjalan menuju kamar agar bisa bebas berbicara pada sosok di sambungan telepon.

“Ta,” panggil pria di seberang.

“Iya, kenapa?” balasnya.

“Kamu yakin sama keputusan kamu?”

“Maksud kamu apa?”

“Lamaran kamu. Kamu beneran lamaran sama cowok itu?” tanyanya dengan suara gusar.

“Ya seriuslah, kamu pikir aku lagi syuting acara reality show?” jawab Arletta dengan ketus namun suaranya sedikit bergetar karena menahan tangis.

“Aku sayang kamu, Ta. Aku nggak bisa ngelepas kamu buat dia.”

“Kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang kamu bilang nggak mau ngelepas aku? Kenapa nggak kemarin-kemarin waktu aku masih mohon-mohon sama kamu buat nikahin aku, Dim?” Tangis Arletta pun pecah saat mengatakannya. Hatinya teriris menerima semua kenyataan ini. Tiga tahun bersama, Adimas selalu menyatakan tak ingin menikah hingga mereka memutuskan untuk berpisah 6 bulan lalu.

Adimas diam, tak ada kata yang mampu ia ucapkan. Rasanya seperti menjilat ludah sendiri. Enam bulan lalu sebelum memutuskan berpisah dengan Arletta dia sempat mengatakan, “Kalo kamu pengen nikah, mending kamu cari cowok lain aja Ta. Aku nggak bisa.”

“Kamu tahu nggak sih, Dim? Kamu memperlakukan aku kayak kucing. Setiap hari aku nempel sama kamu, nyari perhatian kamu tapi nggak pernah kamu gubris. Sekarang setelah aku capek pengen pergi, kamu narik buntut aku. Itu namanya nyakitin, Dim!”

“Taaaa… I’m so sorry. I didn’t mean it.” jawab Adimas dengan suara yang mulai terdengar parau.

“Dari semua kesempatan yang aku kasih selama ini, kenapa baru sekarang kamu bilang kalau kamu nggak mau ngelepasin aku, Dim? Kenapa baru sekarang? Saat Brian udah ngelamar aku, saat mama dan papa udah bisa lega karena anak mereka satu-satunya ini akhirnya mutusin buat nikah?”

Adimas kembali diam. Dia benar-benar tak punya jawaban untuk semua pertanyaan yang Arletta ajukan.

“Jawab, Dim!” bentak Arletta kesal.

“Ta, kamu tahu kan selama ini aku…” kalimat Adimas terpotong.

“Aku apa? Aku masih memulai karier? Aku belum mapan? Aku ngerasa nggak pantes buat jadi menantu di keluarga kamu? Itu kan? Itu yang mau kamu bilang? Basi, Dim! Dari dulu aku selalu bilang sama kamu, orang tua aku pasti nerima kamu karena mereka selalu ngehargain keputusan aku.” jawab Arletta penuh emosi.

“Dim, dari kecil mama sama papa selalu nurutin semua yang aku mau. Dan sekarang mereka cuma punya satu permintaan, supaya aku menikah. Aku ini anak satu-satunya, mereka pengen ada orang lain yang bisa jagain aku kayak mereka jaga aku. Aku sempat berharap orang itu kamu, tapi ternyata kamu nggak punya cukup keberanian untuk itu.”

“Maafin aku, Ta. Tapi aku beneran nggak bisa kayak gini. Enam bulan ini, hidup tanpa kamu aku baru sadar kalau aku nggak bisa. Aku sayang sama kamu, aku mau kamu, Ta!”

“Aku juga sayang sama kamu, Dim. Tapi aku nggak bisa.”

“Ta, tapi kamu baru lamaran kan? Kamu belum nikah, masih ada kesempatan kan buat aku?”

“Kamu tahu kan hidup ini perkara pilihan, Dim? Aku emang sayang sama kamu, tapi maaf aku milih buat bertanggung jawab sama pilihanku. Aku nggak mau kecewain mama, papa, dan Brian tentu saja.”

“Taaaa….”

“Dim, sorry. I can’t! You’re too late. Terlalu banyak kesempatan yang kamu sia-siain, Dim. Aku harap kamu bisa bertanggung jawab juga sama pilihan kamu ya. Semoga kamu nemu pasangan yang jauh lebih baik dari aku. Nggak ada penyesalan sama sekali dalam hidupku selama kenal kamu, I was so happy when we’re together.”

Terdengar suara helaan napas Adimas sebelum dia kembali bersuara. “I’m so sorry, Ta. Maafin aku. Maafin udah nyakitin kamu, maafin karena aku gak punya cukup keberanian. Kalau ini semua yang kamu mau, aku akan nurut. Aku harap kamu bahagia dengan keputusan-keputusan kamu. Take care, thank you for all the love. I love you.” kata Adimas sebelum menutup telepon.

Arletta membenamkan wajahnya di atas bantal setelah panggilan berakhir. Ia menumpahkan tangisnya. Rasanya masih tak percaya hidupnya akan seperti ini, tapi ia yakin dengan keputusannya saat ini.

Saat ini dia punya kesempatan untuk membahagiakan orang tuanya. Dia juga punya kesempatan untuk bertanggung jawab atas pilihan hidupnya. Meski tak tahu bagaimana akhir dari kesempatan yang ada di depannya ini, tapi Arletta yakin jika kesempatan tak selalu datang dua kali dan jangan sampai ia terlambat untuk memanfaatkan kesempatan yang ada.

Ungu, Jingga, dan Kelabu

Aku mengemudikan mobilku dengan terburu-buru setelah menerima telepon. Bahkan masih kurasakan tetesan air dari rambutku yang basah sehabis keramas ketika berlari menuju mobil. Celana pendek warna biru dan jaket abu-abu. Kamu duduk santai menghadap senja.

“Maaf aku terlambat,” kataku sambil duduk di sampingmu.

“Tak apa. Aku yang harusnya minta maaf sudah memintamu bertemu dengan mendadak,” jawabmu.

“Ah, tidak. Aku sedang santai di rumah kok.”

“Oh ya? Inikan hari Selasa, jadwalmu aerobik bukan?”

“Sial!” umpatku dalam hati. Aku lupa jika lelaki ini tahu semua jadwalku. Bahkan Ia juga hapal kapan drama korea favoritku tayang. “Kebetulan tadi abis konsul skripsi di kampus, jadi sorenya males deh mau keringetan. Capek.” kebohongan yang mudah sekali ditebak, aku merutuki diri kenapa alasan bodoh ini yang terucap.

“Kamu apa kabar, Mas?” lanjutku.

“Baik, kamu gimana?”

“Ya gini lah, kayak yang kamu lihat,” padahal sedari tadi melirikku pun ia tidak.

Ia menoleh ke kiri, menatapku dengan senyum simpulnya. Senyum yang sama, seperti di hari pertemuan kami beberapa tahun lalu. Senyum yang kupastikan juga ada saat ia menatap punggungku berlalu setahun lalu. Senyum yang meluluhkan sekaligus menggetarkan.

“Semalam aku bermimpi tentangmu,” katamu lirih.

“Hahaha… kok bisa ya aku ada di mimpimu?” jawabku sambil tertawa getir. Mengingat bagaimana dulu ia berkata, “Kamu tak mungkin ada di mimpiku. Bagiku kamu kenyataan, bukan impian.” Gombalan super ngehe’ yang kuyakini sebagai alasan kenapa aku masih berusaha untuk tetap percaya ia punya cinta untukku.

“Semalem kamu nangis. Aku takut.”

Aku diam, tak merespon. Aku bingung respon apa yang cocok untuk kuungkapkan. Yang kulakukan hanya bergumam sambil mengangguk.

Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Ini untukmu!” katanya sambil mengulurkan bungkusan berwarna merah jambu.

“Apa ini, Mas?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi.

“Bukalah saat di rumah nanti. Jangan sekarang.”

Aku pun mengangguk dan meletakkan bungkusan itu di pangkuanku.

Hear me, hear me, this is for my baby. There will never be another. There’s so many ways I love you. Suara Jordin Sparks mengalun dari saku celananya. Kulihat ia sempat ragu untuk menjawab panggilan yang masuk saat menatap layar handphone-nya. “Sebentar ya!” katanya sambil berdiri dan mengambil beberapa langkah ke depan.

“Take your time, Mas,” jawabku.

“Aku di Taman Diponegoro sayang, gimana? Iya, nanti aku mampir ke Indomaret beli popok ya. Sebentar lagi aku pulang kok,” obrolan itu yang mampu kudengar.

Aku tengah berusaha sibuk memainkan HP-ku saat lelaki 27 tahun itu sampai di hadapanku.

“Ta!”

Aku pun menoleh ke sumber suara. Mendongakkan kepalaku, menatap lekat-lekat lelaki berparas tegas yang pernah menemaniku sedari berseragam putih abu-abu.

“Iya, Mas.”

“Omongan apapun tentang mas yang kamu dengar, boleh kamu percaya. Tapi satu hal yang harus selalu kamu pegang ya, mas tulus sayang sama kamu,” ucapnya datar namun menusuk relung hatiku. Bisa-bisanya dia mengaku sayang padaku tapi memilih perempuan pilihan ibunya. Aku tak menjawab. Di hatiku jawabannya iya, sedang logikaku bilang itu gila.

“Mas pulang dulu.”

Tiba-tiba aku merasakan ada yang basah, mengalir di pipiku. Aku terbangun dengan keadaan menangis sesenggukan. Kulihat jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 2.45 pagi. Aku sungguh sial, bahkan dalam mimpi pun ditinggalkan.

Monday, the 13th. Sungguh Senin yang menyebalkan. Mungkin benar kalau angka 13 adalah sumber sial. Pagi ini aku bangun kesiangan karena tengah malam terbangun, ditambah kemacetan ibukota yang tak tahu diri.

“Di mane lo?” LINE dari rekan kerjaku.

Kuaktifkan handfree dan menelponnya, “Lo udah di kantor?” tanyaku.

“Masih di taksi sihh.. hehehe… Tapi udah deket, gedung kantor juga udah kelihatan.” suara dari seberang.

“Yauda lo nggak usah masuk, tunggu di lobi aja. Gue juga udah mau nyampe nih. Kita langsung aja jalan ntar.”

“Iya, Bu Gista.”

“Lain kali awas aja ya lo nge-set meeting hari Senin pagi lagi. Gue pites lo!”

“Hahahaha… ampun!! Klien lo yang rese.”

Dua meeting yang kujalani hari ini berjalan lancar. Untungnya kesialanku tidak berlanjut ke meja kerja. Beberapa file yang kubutuhkan untuk meeting dengan tim kreatif besok pagi juga sudah siap. Otakku benar-benar bekerja dengan sempurna hari ini. Sebentar lagi aku hanya perlu bergulat dengan kemacetan selama 30 menit lalu bisa tertidur pulas di apartemenku.

What do you mean? What do you mean? Said we’re running out of time. What do you mean? Aku tengah menyenandungkan lagu dari Justin Bieber kala HP-ku bergetar dan memperlihatkan nomor yang tak dikenal.

“Halo,” kataku sambil memutar kursi menghadap ke jendela.

“Gista, ini Naira.”

Aku mengernyitkan dahi. “Hah?” jawabku bingung.

“Istrinya Mas Raka,” jawaban yang sontak membuatku diam dan semakin bingung.

“Ada apa ya, Mbak?” aku berusaha untuk santai, meski aku tahu nada suaraku sedikit bergetar.

“Hari ini 40 hariannya, Mas Raka. Aku mau minta doa sama kamu. Semoga suamiku tenang dan dikasih tempat terbaik di sisi-Nya. Juga, ada paket yang disiapin Mas Raka untuk kamu. Tadi pagi aku kirim ke Jakarta, mungkin lusa sudah bisa kamu terima.”

Ungu, jingga, dan kelabu bergumul di langit sore itu. Menyaksikan tangisku.

-S-

Bebas

Kini bukan lagi senyummu yang ku harap untuk menghiasi hari-hariku. Bukan lagi ceria suaramu yang ingin ku dengarkan lewat telpon. Bukan juga pelukmu yang ku inginkan untuk menjadi penghangatku.

Aku minta maaf jika pernah menjanjikan untuk setia. Untuk menunggumu apapun alasannya. Nyatanya, bukan kamu lagi yang kini menghiasi kepalaku. Kini aku tengah merindukan lelaki lain. Lelaki yang sempat ku acuhkan karena harapku padamu. Lelaki yang tak pernah menjanjikan apapun namun mampu membuatku menujunya.

Selamat! Sekarang kamu bebas dariku.

-S-

Doa Terakhir

Kamu tahu kenapa aku tak pernah bertanya, “Apa kabar?”
Itu karena aku selalu menyebut namamu dalam doaku. Aku tahu bahwa semesta akan selalu memberkahimu, seperti yang ku doakan untukmu.

Namun hari ini aku ingin sekedar bertanya, “Apa kamu baik-baik saja?”
Karena entah sejak kapan, aku lupa, sudah tak lagi ku sebut namamu dalam doaku. Tak lagi kuingat senyum mana yang mampu kubalas dengan senyuman yang lebih indah. Gelak tawa seperti apa yang ku harap untuk kudengar. Aku sudah lupa.

Saat ini, aku sedang menikmati senyuman lelaki lain. Lelaki yang pernah tak ku acuhkan karenamu. Maaf, kini aku menginginkan lelaki lain. Bukan lagi dirimu. Doa terakhirku, semoga kamu baik-baik saja.

-S-

Aku Hanya Lelah

Kenapa kamu justru ingin pergi saat aku ingin kamu tetap di sampingku?

Aku tidak punya alasan lain selain rasa lelah. Kamu harus tahu, Ben, mencintaimu begitu melelahkan. Aku lelah melihat senyum palsu yang selalu kamu pamerkan di hadapan orang-orang. Aku lelah mendengar kata “aku bahagia” yang selalu kamu ucapkan penuh tekanan.

Ben, aku juga lelah memasak dan menyiapkan makanan untukmu. Tak pernah sedikit pun masakanku masuk ke mulutmu. Pun aku lelah harus menata ranjang yang bahkan tak pernah kamu tiduri, karena aku selalu tidur sendiri dan kamu tidur di tempat lain. Mungkin dengan pelukan perempuan lain.

Tapi katamu, kamu akan bersabar menungguku?

Ya, kamu benar, aku pernah menginginkan demikian. Tapi sekarang aku tak lagi menginginkannya, Ben. Aku lelah. Aku lelah menangisi apa kurangku hingga mencintaimu saja sesulit ini?

Aku pergi bukan karena perasaanku padamu berganti, aku hanya lelah mencintaimu tanpa balasan. Aku bukan pahlawan tanpa tanda jasa, Ben. Aku masih selalu dan akan selalu berharap semua yang aku lalukan mendapat balasan darimu. Sayangnya aku sudah terlanjur lelah sebelum semua yang aku mau terwujud.

Sekarang, aku hanya punya satu permintaan terakhir. Bukan sesuatu yang berat. Kamu pasti bisa mengabulkannya. Tolong biarkan aku pergi, dan jujurlah dengan perasaanmu. Jangan biarkan dirimu juga ikut lelah.

-S-

Kita Simbol Gemini

Setiap jalan tentunya memiliki ujungnya masing-masing. Hari ini jalan kita masih sama, esok, lusa, siapa yang akan tahu kemana ujung dari ini semua? Sekitar empat tahun saling mengenal, banyak cerita yang setiap harinya kita tuturkan. Kita berbagi cerita tentang perjalanan hidup masing-masing, bergurau tentang konyolnya dunia, hingga berdebat demi mencari gelak tawa bersama.

Waktu yang ku habiskan bersamamu, tentulah sangat ku nikmati. Setiap detik yang kita miliki selalu ku manfaatkan sebaik mungkin, karena aku tak ingin menyesal. Aku tak mau jika sudah waktumu yang tak lagi untukku, masih banyak hal yang belum kita raih bersama. Aku ingin kita, bagaimanapun keadaannya. Tapi dari awal aku sadar, ada jarak yang tak bisa tertembus, ada sela di antara kita.

Aku sadar betul, suatu hari salah satu dari kita akan pergi, mencari jalan lain untuk meraih bahagia yang kita impikan. Mungkin kamu yang meninggalkanku, atau bahkan aku yang meninggalkanmu. Entahlah. Tak penting rasanya siapa nanti yang akan pergi lebih dulu. Bagiku, saat ini, selagi kita masih bisa bersama, aku ingin kita memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin. 

Perjalan kita ku gambarkan dengan simbol gemini. Pertautan antara dua jalan, bersaudara, kembar, beriringan. Itulah kita yang aku rasakan. Ada ikatan di antara kita, entah pantasnya disebut apa. Namun ikatan saja tak mampu untuk terus menahan kita bersama. Seperti setiap pesta yang pasti berakhir, perjalan kita ini pun akan mencapai ujungnya yang membuat kita saling berseberangan.

Saat ini, aku sedang terbayang, apa jadinya jika esok kamu tak lagi sama? Statusmu, candamu, sikapmu. Harus bagaimanakah aku menyiapkan diri untuk kehilangan kamu? 

Aku bukannya sedih. Tidak. Apapun pilihanmu, bahagiamu tentunya juga milikku. Hanya saja, tak terbayang jika akhirnya kita benar-benar jauh. Aku dengan masa depanku, dan kamu dengan masa depanmu. Namun mengulang pola yang sama untuk orang baru (berbeda) tentunya adalah pola yang menjemukan. Mungkin aku hanya terlalu malas untuk beralih tempat. Tapi bagaimanapun itu, kita lihat saja nanti.

Lihatlah, jalan kita dipenuhi bahagia, esok, lusa, dan seterusnya!

-S-

*25th October 2012

Percaya

Sebulan lalu, kulihat bukan lagi fotoku yang terpampang di wallpaper handphone-mu. Saat ku tanya siapa dia, kau bilang hanya teman lama. Teman saat SMA yang tak sengaja kau jumpai saat ulang tahun salah satu teman.

Aku diam saja, percaya bahwa kau patut untuk ku percaya.

Sekitar seminggu yang lalu, tiba-tiba kaubatalkan rencana liburan kita dengan alasan ada pekerjaan ke luar kota. Tak bisa kutolak, karena aku pun kadang demikian. Jadi kuanggap kita impas.

Lalu siang tadi, saat harusnya kau masih di luar kota, kenapa justru kulihat engkau menggandeng seorang wanita di sebuah pusat perbelanjaan di ibukota? Apa jadwalmu sudah berubah?

-S-

Aku Kalah

Aku masih tersedu di kamar kosmu, dengan kedua telapak tangan yang menutup muka. Ada sakit yang entah harus dengan bagaimana kututupi. Beberapa kali kau sempat menarik tanganku, namun aku belum siap menatapmu, menerima kenyataan yang ada.

Dalam isakku, aku masih terus mempertanyakan, “apa kurangku?” dan berkali pula engkau menjelaskan bahwa kekuranganku hanya satu. Satu hal yang begitu kubanggakan sebagai perempuan, namun kau anggap itu kekurangan.

“Apa aku tak lagi punya kesempatan? Apa tak bisa kelebihanku yang lain menutupi satu kekuranganku? Apa kebersamaan kita selama hampir dua tahun ini tak cukup bagimu untuk mempertahankan hubungan kita?” pertanyaan-pertanyaan ini terus bergelayut dalam pikiranku.

Indra Ladirga, selama hampir dua tahun kita bersama, sebisa mungkin aku tak memintamu untuk menjemputku meski aku sedang tak membawa kendaraan. Pun selalu ku tolak kala kau ingin membawakan carrierku saat kita pergi liburan bersama. Bahkan, saat kita pergi berkencan aku selalu mengupayakan agar uangku juga keluar karena aku bukan bebanmu, belum perlu bagimu untuk bertanggung jawab sepenuhnya padaku. Barang-barang pemberianmu, semuanya adalah kado, tak ada yang kuminta saat kita pergi berbelanja bersama. Sekali lagi, Dirga, kebutuhanku bukan tanggung jawabmu, aku pun masih mampu untuk memenuhi semua inginku dari uang hasil keringatku.

Sayangnya, segala kemandirianku itu justru kau anggap sebagai kekurangan. Katamu, “Dia selalu bisa membuatku merasa ada. Sedangkan aku selalu merasa tidak berguna di sampingmu, kamu nggak pernah butuh aku, Tiara.”

“Aku sayang kamu, Tiara. Tapi kamu terlalu bisa untuk melakukan semuanya sendiri. Ada tidaknya aku tidak berguna untukmu. Padahal aku cuma mau satu, menjadi sosok yang berguna untukmu, yang siap menerima dirimu. Sayangnya itu tak pernah bisa ku dapatkan, karena kamu selalu menyimpan dan melakukannya sendiri,” tangisku pun makin meledak mendengar tuturmu.

Aku merasa bodoh, merasa kalah dari perempuan lain. Perempuan yang membawa tasnya saja mungkin tak kuat. Perempuan yang selalu memintamu menjemputnya padahal rumah kalian berlawan arah. Perempuan yang banyak meminta dan menuntutmu.

-S-