Tidak Sia-sia

Semua bilang aku hanya menjalani hidup yang sia-sia. Namun bagiku, tidak ada hal yang sia-sia di dunia ini. Apa yang aku jalani saat ini adalah bagian dari perjalanan hidup. Kusebut ini takdir, karena sekuat apapun aku melawannya, hatiku tak mampu berubah.

Bagiku, sia-sia berarti hal tersebut tidak berguna. Sedangkan aku merasakan banyak manfaat dari semua ini. Jadi aku tidak sedang menjalani hal yang sia-sia, bukan? Lagi pula semua hal di dunia terjadi pasti ada alasannya. Dan aku percaya, semesta membuatku bertemu dengannya bukan untuk jadi sia-sia.

Aku masih ingat dengan jelas, bagaimana hubunganku dan ayah-ibu merenggang selama 6 bulan karena pilihan hidupku ini. Tapi sungguh, sekuat apapun aku menyangkal, semuanya terlalu sulit untuk kuakhiri. Saat itu ayah bilang, “Apa kamu nggak mikir ke depannya nanti gimana? Kamu ngapain sih seperti ini? Apa ayah gak pernah ngajarin kamu untuk mikir dulu sebelum bertindak, Cha?”

Lika, temanku sejak SMA juga ngatakan hal yang serupa. Katanya, “Cha, lo beneran mau jalanin hubungan lo itu? Ngapain sih? Lo kan tahu ujungnya nanti gimana.” Saat itu kukatakan pada Lika, “Gue cuma mau menikmati hidup gue. Dan gue rasa ketemu sama Tian itu takdir yang harus gue jalanin, Ka. Lagian, gak ada hal yang sia-sia di dunia ini. Kita harus bisa ngambil yang positifnya.”

Entahlah, mungkin aku denial. Mungkin juga aku naif atau memang bodoh. Tapi begitulah aku menjalani hidupku, juga hubunganku dan Tian yang kini berjalan menuju 2 tahun.

Enam bulan pertama, ayah dan ibu bahkan seolah tidak menganggapku sebagai anaknya. Kami tak berbagi kabar selama kurang lebih 6 bulan. Namun mungkin ayah dan ibu sadar, mendiamkanku tidak akan membuat semuanya berakhir begitu saja. Maka mereka mengalah, menerima keputusanku, dan hubungan kami membaik.

Berbeda dengan lingkunganku yang begitu menolak, lingkungan Tian justru sangat supportive. Aku bahkan sangat dekat dengan Mama Maria, ibunda Tian.

Sebulan terakhir, aku dan Tian tidak bertemu. Kami sedang berada dalam masa “berpikir”. Ya, kami tahu seperti apa hubungan kami akan berakhir, karena terlalu sulit untuk bersama.

Selama 2 tahun ini, aku dan Tian tidak punya masalah dalam hubungan. Dia selalu membuatku bahagia, tidak sekali pun aku menangis dibuatnya. Pertengkaran kecil memang sesekali terjadi, namun itu biasanya hanya karena miskomunikasi di antara kami. Entah karena dia telat menjemput atau tak memberi kabar saat keasyikan main game bersama teman-temannya.

Kami sama-sama tahu, ini semua akan berakhir. Itulah sebabnya aku dan Tian membuat sebuah perjanjian untuk tidak membahas masalah ini sebelum hubungan kami berusia 2 tahun. Setidaknya, kami memberi waktu 2 tahun dalam hubungan ini agar kami benar-benar bisa menikmatinya. Seolah 2 tahun itu adalah vonis dokter sebelum semuanya berakhir.

Dan di sinilah kami sekarang, duduk berhadapan di restoran favorit kami. Dua mangkuk soto betawi dengan 3 piring nasi sudah tak bersisa. Di meja hanya ada segelas es teh manis dan es jeruk.

So, how do we start?” tanya Tian.

“Hm…” aku bergumam sambil mengaduk es jeruk di depanku yang esnya mulai mencair, sehingga meninggalkan lapisan bening di bagian paling atas.

“Icha..”

“Ya?”

“Makasih ya, udah ngizinin aku jadi bagian penting dalam hidup kamu 2 tahun ini. Aku tahu suatu hari kita akan ada di titik ini. Dari awal aku tahu, tapi aku terus melangkah ke kamu karena aku tahu bareng sama kamu itu sesuatu yang berharga buat aku, Cha. I do love you.”

So do I, Tian. Gak pernah sedikit pun aku ragu sama perasaan kamu, meski aku tahu semuanya akan berakhir. Makasih untuk bikin aku tumbuh jadi manusia yang jauh lebih baik 2 tahun ini. Maafin ya kalau aku sering rewel.”

“Hahaha… dan aku mungkin bakal kangen banget sama rewelnya kamu itu, Cha!”

Tidak ada kata putus, tapi kami sepakat untuk membuat semuanya berakhir. Karena dari awal kami tahu, hanya sampai di titik ini jalan yang perlu kami lalui bersama sebelum melangkah ke persimpangan masing-masing.

“Bye, Christian.”

“Bye, Annissa.”

Perjalanan Tanpa Rencana

Aku tidak tahu apa yang ada di depan, apakah itu kebahagiaan yang tak pernah kubayangkan atau justru kesengsaraan seperti yang selama ini memenuhi bayanganku. Hari ini aku akan melangkah ke dunia yang baru. Sebuah dunia yang sangat menakutkan untuk kujalani, namun terpaksa harus aku masuki karena keinginan orang-orang yang kucintai.

Aku melirik pada pria yang duduk di sampingku. Ia pun menoleh sekilas ke arahku sambil tersenyum, memamerkan lesung pipi kecil di pipi kanannya. Meski ia tersenyum, di matanya aku menangkap sebuah ketegangan. Sesekali kulihat ia menarik napas dengan berat dan mengepalkan telapak tangannya untuk mengusir rasa tegang.

Setelah sekitar 10 menit duduk -yang rasanya seperti sudah 1 jam- kini papa yang duduk di hadapannya mulai menjabat tangannya. Aku tertunduk, berusaha mengatur napas. Bukan cuma dia yang kini tegang, tapi juga aku. Kuremas tisu yang kugenggam, telapak tanganku mulai berkeringat karena tegang.

Aku tidak pernah menyangka, aku akan tersenyum dan merasa begitu lega setelah semua orang di ruangan itu berkata “sah” secara serempak. 

Aku dan dia kini saling berhadapan. Digenggamnya telapak kananku dan sebuah cincin emas dipasangkannya di jari manisku. Kubalas perlakuannya dengan cara serupa.

Setelahnya semua orang berburu foto-foto kami dan mengucapkan selamat. Entah apa yang kurasakan, rasa bahagia sekaligus takut menyerangku dalam waktu bersamaan. Meski begitu, bibirku terus bergerak untuk tersenyum seolah berkata, “Yes, finally the day I’m dreaming about is coming!”

Namun kembali lagi, aku tidak tahu apa yang ada di depan, apakah itu kebahagiaan yang tak pernah kubayangkan atau justru kesengsaraan seperti yang selama ini memenuhi bayanganku. Perjalanan ini adalah sebuah perjalanan yang tak pernah aku rencanakan. Aku hanya menuruti rencana kedua orang tuaku.

Tiga bulan lalu mama memintaku untuk menikahi pria pilihannya. Pria yang tidak terlalu tampan seperti selera pacar-pacarku di masa lalu, namun punya selera humor yang setidaknya mirip denganku. Di hadapan papa, aku bahkan sempat mengemis, “Is your wish more important than my happiness, Pa?” tapi papa bilang, “Bukan papa nggak peduli sama kebahagiaan kamu, tapi mama kamu, seseorang yang papa cintai menginginkan ini dan papa tidak punya pilihan lain selain membujukmu demi mengabulkan keinginannya. Kebahagiaan mama adalah kebahagiaan papa. Dan satu hal lagi, apa yang kamu miliki sekarang itu semua karena doa mama.”

Aku diam, memikirkan semua yang papa katakan. Ini adalah pertama kalinya mama dan papa menginginkan sesuatu dariku -yang rasanya seperti paksaan. Mereka tidak pernah marah ketika aku mendapat nilai jelek di sekolah. Mereka juga tidak pernah menentang keinginanku untuk les taekwondo meski kutahu papa lebih suka aku mengikuti les balet. Saat banyak orang tua menuntut ini-itu dari anaknya, papa dan mama selama ini selalu membebaskanku untuk memilih semua yang kuinginkan. Tapi kini aku tahu, tidak ada anak yang bisa benar-benar lepas dari keinginan orang tuanya. Di dalam hidup seorang anak, terdapat impian orang tua.

Dan di sinilah aku, tersenyum pada semua orang yang ada di hadapanku. Kupandang pria yang ada di sampingku dan mata kami saling bertemu. Di sana, kutemukan sebuah ketenangan dan keyakinan. Matanya seolah memberi pesan, “Aku mengerti kekhawatiranmu karena ini juga yang pertama untukku. Tapi apapun yang ada di depan nanti, mari kita hadapi bersama.”

Status

Dering handphone membangun Arlin dari tidur nyenyaknya. Ia pun terbangun, tangan kanannya bergerak aktif untuk segera mematikan suara yang mengganggunya itu. Angka 8.05 tertera di layar handphone berwarna rose gold miliknya. Setelah nyawanya mulai terkumpul, Arlin pun duduk dengan menyandar pada ujung kasur. Menyelipkan bantal di belakang punggungnya agar duduknya lebih nyaman.

Arlin mulai mengecek aplikasi Whatsapp, membalas beberapa pesan yang belum sempat dibalasnya semalam karena sudah terlelap. Selesai dengan Whatsapp, Arlin berpindah ke aplikasi Instagram. Ia mulai membaca beberapa komentar yang ditinggalkan followers-nya pada foto yang diunggahnya kemarin sore. Foto itu memperlihatkan dirinya sedang berdiri dengan background gedung-gedung tinggi di Victoria Peak. Sudah dua hari ini Arlin memang berada di Hong Kong dan hari ini adalah hari terakhirnya sebelum besok kembali ke Jakarta. Kembali bekerja dan menikmati rutinitasnya sebagai Account Manager di sebuah event organizer.

Dua kali dalam setahun, Arlin punya rutinitas untuk melakukan solo trip. Menurutnya, solo trip merupakan momen terbaik untuk me time. Lagi pula, solo trip baginya lebih menyenangkan dibanding pergi liburan bersama banyak orang, karena setidaknya ia tak perlu banyak berdebat untuk menentukan intinerary. Selain solo trip dua kali dalam setahun, Arlin juga punya satu jadwal liburan bersama Litia, sahabatnya sejak SMA. jadi setidaknya Arlin akan punya tiga kali liburan dalam setahun. Dua solo trip di April dan Oktober dan satu kali liburan bersama Litia di bulan Agustus.

Arlin dan Litia belum membicarakan ke mana mereka akan berlibur tahun ini, karena ini tahun pertama Litia menjadi seorang istri alias ia kini sudah bersuami sedangkan Arlin masih sendiri. Juli tahun lalu jadi momen terakhir mereka liburan berdua. Mereka ke Lombok untuk menikmati indahnya Pink Beach. Oktober tahun lalu, seminggu sebelum Arlin liburan ke Korea Selatan, itulah momen terakhir Arlin dan Litia bertemu, di pesta pernikahan Litia. Saat ini Litia sedang berada di California, mengikuti suaminya yang sedang menyelesaikan S2.

Karena ini hari terakhir liburannya, Arlin memutuskan untuk sedikit bersantai. Ia menikmati sarapan di restoran hotel tanpa mandi, hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Bahkan, ia hanya mengenakan setelan loungewear warna biru yang sudah dibawanya tidur semalam. “Bodo amat deh nggak stylish, yang penting wangi,” begitu prinsipnya.

Asyik menikmati makanan sambil mengecek itinerary di excel sheet, tiba-tiba Arlin merasa ada yang menepuk pundah kirinya.

Sorry, kamu Arlin bukan ya?” Seorang pria berkaca mata dengan kaos polos warna merah marun dan celana jeans hitam berbicara padanya.

“Ya?” Arlin menatap pria itu, mengernyitkan dahi. “Kamu?” Otaknya terus berpikir siapa pria ini kenapa tampak tidak asing di matanya.

Pria bermata bulat itu meraih kursi dan duduk di hadapannya tanpa di minta. “Ini beneran kamu lupa?” goda si pria pada Arlin.

“Hm, bentar-bentar…” Arlin kembali berpikir, “Kak Deco bukan sih?”

Pria di hadapannya tertawa, akhirnya adik kelasnya di SMA itu mengenalinya. “Yes, I am!

“Wow! I can’t believe it!” seru Arlin.

“Kenapa?” balas Deco sambil mengunyah omelete dari piringnya.

“Ya gak nyangka aja kita ketemu di sini. Kakak sama siapa?” Arlin menggerakkan kepalanya ke kanan-kiri, seakan mencari sosok lain yang mungkin sedang bersama Deco.

“Sama sepupu-sepupu aku, cuma sekarang lagi sendirian. Mereka lagi pada males sarapan katanya. Kamu sama siapa, Lin?”

“Hehehe… Aku sendirian, kebetulan lagi solo trip.”

Arlin dan Deco menikmati sarapan sambil berbincang. Sudah lama mereka tidak bertemu, mungkin acara kelulusan Deco 8 tahun lalu jadi momen terakhir mereka bertemu. Di masa SMA, Arlin cukup dekat dengan Deco karena Deco adalah pacar Litia. Dulu, mereka sering pergi bertiga karena Litia selalu membawa Arlin, sebagai tameng agar mamanya mengizinkannya pergi nonton atau sekadar nongkrong. Mereka putus sebelum Deco ujian nasional dan setelah kelulusan Deco melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Setelah itu, Arlin tak pernah tahu lagi bagaimana kehidupan Deco, Litia pun tak pernah berceritanya padanya kenapa mereka memilih berpisah.

Dari obrolannya saat sarapan tadi, Arlin tahu Deco sudah kembali ke Jakarta sejak 5 tahun lalu. Sekarang Ia bekerja sebagai PR Manager di sebuah perusahaan FMCG. Mereka juga bertukar nomor handphone dan berjanji untuk bertemu kembali di Jakarta nanti.

Hari terakhir di Hong Kong dihabiskan Arlin dengan berbelanja di area Tsim Sha Tsui. Ia berpikir untuk menikmati makan malam terakhir di Hong Kong di Jumbo, sebuah rumah makan terapung yang sangat terkenal. Ia sudah pernah melihat foto-foto Jumbo di internet, tempat ini tampak lebih bagus saat malam. Warna merah khas chinatown dipadu dengan lampu kekuningan membuat Jumbo terlihat lebih megah.

Butuh menyeberang dengan kapal kecil untuk sampai ke tempat ini. Beberapa orang terlihat bersama rombongan, hanya Arlin yang sepertinya sedang sendirian. Turun dari kapal, Arlin menyadari ada sosok yang dikenalnya yang ikut turun dari kapal.

“Kak Deco!” serunya.

Sosok yang dipanggil menoleh. Mata Deco membulat dan mulutnya sedikit terbuka, menunjukkan rasa excited dari pertemuannya dengan Arlin. “Kamu mau ke Jumbo juga?”

“Iya.”

“Lah, tahu gitu kita bareng aja tadi,” kata Deco. “Udah reserve?”

“Emang harus reserve dulu ya?” tanya Arlin dengan polos.

“Ebuset!” Deco tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Tempat ini nggak pernah sepi, Lin. Jadi emang wajib buat reserve dulu.”

Arlin hanya bisa nyengir mendengar penjelasan Deco. Ia merasa malu dan merutuki kebodohannya. Bisa-bisanya dia tidak mencari tahu tentang informasi ini sebelumnya.

“Yauda ayo gabung aja sama aku. Bareng sepupu-sepupu aku gak apa-apa, kan?”

“Gak apa-apa banget! Malah aku yang makasih udah diajakin bareng. hehehe…”

Arlin pun berhasil menikmati malam terakhirnya dengan olahan seafood yang ada di Jumbo. Deco juga memperkenalkannya pada tiga sepupu yang liburan bersamanya. Untung saja ketiganya tipe yang banyak ngomong, sama seperti Deco, jadi Arlin bisa makan sambil ngobrol dan tak merasa jadi orang asing di tengah mereka.

***

Tiga bulan sejak kepulangannya dari Hong Kong, Arlin banyak menghabiskan weekend-nya bersama Deco. Hampir setiap Sabtu mereka pergi bersama, mulai dari nonton film, nongkrong sambil ngopi, ikut kelas melukis, atau bahkan sekadar memasak dan ngobrol-ngobrol santai di apartemen milik Deco.

Arlin tak tahu jelas bagaimana perasaannya pada Deco, yang ia tahu mereka berteman dekat dan Arlin merasa nyaman ada di dekat Deco. Dan yang paling penting, saat ini mereka sama-sama single jadi pasti tidak akan ada pihak yang tersakiti jika mereka menjalin hubungan yang lebih dari sekadar teman.

Sabtu ini Arlin dan Deco akan kembali menghabiskan malam Minggu di apartemen Deco. Arlin sudah membawa dua potong tenderloin dan sayuran untuk menu makan malam mereka. Deco bilang, “Kemampuanku masak steak nggak kalah sama chef di franchise steak langganan kamu itu, Lin.” Jadi, Arlin pun ingin membuktikan apa yang dikatakan Deco padanya minggu lalu.

Handphone Arlin berdering, sebuah panggilan video terlihat di layar. Arlin berjalan ke arah balkon, meninggalkan Deco yang sedang memasak di dapur untuk menerima video call tersebut.

“Halo, Nyonya Ragastya!” sapa Arlin pada sosok di seberang sana.

“Halo sobat julidku sejak 2007!” balasnya. 2007 merupakan tahun di mana Arlin dan Litia bertemu, perkenalan mereka dimulai saat ospek di SMA. Tahun yang sama ketika Litia dan Arlin mengenal Deco, kakak kelas yang ramah dan banyak bicara, yang kemudian mencuri hati Litia, dan mungkin juga Arlin, sekarang.

“Hahaha…” Arlin membalas sapaan Lit dengan terbahak.

“Malam Minggu ngapain, Beb?”

“Nge-date dong!”

“Hah? What? Nge-date?” Litia bertanya dengan penuh rasa penasaran. Ia juga memperhatikan lokasi Arlin di layar handphone-nya. Sebuah tempat yang belum dikenalnya.

“Iya, kenapa?”

“Parah! Kok nggak cerita sih kalau lo punya pacar?” Litia menunjukkan muka kesal, sedikit memajukan bibirnya.

“Hahahaha… selow, emang belum jadi makanya belum cerita. hehehe…”

“Bentar deh bentar, biasanya lo lihat cowok bening dikit juga cerita. Ini kenapa harus nunggu jadi dulu baru akan cerita? Wah, waahh… Pasti ada yang lo umpetin,” cecar Litia.

Arlin memang belum pernah bercerita tentang pertemuan dan kedekatannya dengan Deco beberapa bulan terakhir pada Litia. Namun itu bukan karena ia ingin menyembunyikanya, melainkan Arlin hanya merasa tak pernah mendapat waktu yang tepat untuk bercerita. Beberapa waktu terakhir chat mereka hanya membahas soal rencana liburan yang terpaksa diundur karena Litia masih belum bisa kembali ke Jakarta. Liburan yang biasanya terjadi di bulan Agustus tahun ini terpaksa diundur ke Desember.

Meski dekat sejak SMA, Arlin dan Litia bukan tipe yang setiap hari selalu berkomunikasi apalagi sekarang mereka terpisah antar benua dan berbeda zona waktu. Mereka hanya sesekali saling bertukar kabar melalui Whatsapp dan melakukan video call. Karena jika hanya sekadar untuk melihat kehidupan sehari-hari masing-masing, mereka sudah saling berkomentar satu sama lain di Instagram Story setiap harinya.

Arlin masih asyik ngobrol dengan Litia ketika tiba-tiba Deco muncul di belakangnya. “Lin, ayo makan dulu!” ajaknya.

Arlin menoleh dengan kaget. Litia tentu saja menyadari kehadiran seseorang di layar handphone-nya. Tidak hanya Arlin yang kini terlihat di layar, ada sosok yang dulu sangat dekat dengannya. Cinta pertamanya.

“O oh… oke!” jawab Arlin dengan sedikit tergagap. Berharap Deco tak menyadari bahwa ia sedang melakukan video call dengan Litia, begitu pun sebaliknya ia juga berharap Deco tak tertangkap kamera HP-nya sehingga Litia tidak melihat Deco.

Deco berbalik badan dan melangkah ke meja makan setelah mendengar jawaban. Arlin pun segera berpamitan pada Litia dan menuju ke meja makan.

“Gimana, enak kan?” tanya Deco dengan antusias setelah Arlin mengunyah sepotong daging.

Arlin tak bisa menjawab karena mulutnya masih penuh dengan daging. Ia hanya memberikan jempol sebagai tanda bahwa steak buatan Deco benar-benar enak, pas dengan seleranya. Daging ini dimarinasi dengan sempurna, tingkat kematangan medium rare membuat tekstur dagingnya bergitu lembut dan lumer di dalam mulut. Sungguh sempurna.

Deco pun terlihat senang dengan ekspresi yang ditunjukkan Arlin. Ia memang tak main-main. Memasak steak sudah jadi andalannya sejak lama. Seluruh keluarganya pun telah menyadari salah satu keahliannya ini.

“Makan yang banyak ya,” kata Deco sambil mengusap puncak kepala Arlin. Merapikan poninya. Arlin dan rambut bob dengan poni dengan adalah dua hal yang tak terpisahkan sejak bertahun-tahun lalu. Gaya rambutnya inilah yang membuat Deco mengenali Arlin saat mereka bertemu di Hong Kong tiga bulan lalu.

“Siap, Chef!” balas Arlin sebelum memasukkan kembali potongan daging ke dalam mulutnya, menikmati steak buatan Deco.

Selesai makan, Arlin membantu Deco untuk membereskan dapur. Ia mencuci alat masak dan piringnya. Deco sendiri sedang ada di kamarnya, berganti pakaian, siap-siap untuk mengantar Arlin pulang.

“Loh, kamu rapi banget! Mau ke mana?” tanya Arlin saat melihat Deco yang sudah rapi dan wangi berdiri di dekatnya.

“Yeee… Gimana sih si ibu? Mau nganter kamu lah, ngapain lagi? Nggak mungkin dong pakai celana jeans gini mau tidur?” Deco bergerak mendekat ke belakang Arlin yang masih sibuk mengelap piring dan gelas. Melingkarkan kedua tangannya memeluk Arlin, menempelkan dagunya ke pundak kanan Arlin. “Udah tinggalin aja, nanti aku yang beresin. Udah jam sepuluh lewat nih. Nggak enak sama orang tua kamu kalau kemaleman.”

Arlin diam, tapi dia sungguh menikmati momen ini. Buru-buru diletakkannya piring yang ada di tangannya ke rak. Kemudian kedua tangannya bergerak mengusap tangan Deco yang melingkar di perutnya. “Kalau dikekepin gini gimana pulangnya?”

“Hahahaha….” Deco pun terbahak mendengar ucapan Arlin. Ia segera melepaskan pelukannya dan mundur beberapa langkah. Inilah Arlin, selalu penuh kejutan di mata Deco.

***

Arlin sudah mematikan lampu kamarnya, bersiap untuk tidur. Namun otaknya masih terus memikirkan tentang hubungannya dan Deco dan bagaimana harus bercerita pada Litia tentang pertemuannya dengan Deco.

Litia Maheswari, banyak orang menyebutnya perempuan yang sempurna nyaris tanpa cela. Ia terlahir di keluarga berada, ayahnya pengusaha properti. Litia cantik dan pintar, ia pun punya karier cemerlang sebagai fashion designer. Mengikuti suaminya ke California tentu saja Litia tak sekadar jadi ibu rumah tangga, di sana ia tetap bekerja di butik kenalannya saat kuliah di Milan dulu. Sungguh terlihat sempurna bukan hidup Litia sebagai perempuan?

Namun sepuluh tahun mengenal Litia, Arlin tahu apa kekurangannya sahabatnya itu. Litia masih menaruh sebagian hatinya untuk cinta pertamanya, Deco. Litia mungkin tak pernah menceritakan hal ini secara terang-terangan tapi Arlin bisa menyadarinya. Di kamarnya, Litia masih memajang foto mereka bertiga, Litia dan Deco yang sedang bergandeng tangan dan tersenyum bahagia, sedang Arlin di samping Litia, yang seolah sedang menjadi orang ketiga.

Arlin pernah bertanya, “Kenapa sih masih majang foto ini, Lit?”

“Kenapa emangnya? Di situ gue keliatan cantik kok,” jawab Litia santai.

“Ya tapi kan ada Kak Deco, emang lo nggak mau ganti ke foto kita yang lagi berdua aja?”

“Justru itu, Beb! Deco dan lo itu dua makhluk terpenting dalam hidup gue. Jadi gue mau kalian ada di samping gue, sama kayak di foto itu.”

Arlin mengusap wajahnya dengan gusar. Ia kesal sendiri dengan keadaannya saat ini. “Kenapa rasanya kayak lagi selingkuh sih?” teriaknya.

***

Rabu malam pukul 20.45, Arlin masih ada di meja kerjanya menyelesaikan budget untuk event dadakan di Bali bulan depan yang harus dipresentasikannya besok siang. Ia buru-buru menekan Command + S di keyboard dan menutup laptonya setelah layar handphone-nya menyala dan memperlihatkan pesan dari Deco.

Deco: Can we meet up tonight? I need you.
Arlin: Ada apa? Aku masih di kantor nih.
Deco: I’m having a bad day. Tunggu 15 menit ya, jam segini udah sepi kok kalo ke kantor kamu. Aku jalan sekarang.

Ternyata tak sampai 15 menit Deco kini sudah muncul di lobi kantor Arlin. Melihat keadaan gedung yang sudah sepi, Deco memarkirkan mobilnya. Ia keluar dari mobil dan berdiri menunggu Arlin yang katanya sedang menuju lift di lantai 5 untuk turun ke lobi.

“Haiii…”

Saat Arlin menyapa, Deco tak menjawab tapi langsung berjalan menuju kearah Arlin. Memeluk gadis dengan kaos lengan panjang warna abu-abu, celana jeans, dan sepatu Vans hitam andalannya. Dipelukan Arlin, Deco menumpahkan rasa lelahnya.

“Hei hei, kenapa sih? Malu ntar ada satpam kita digrebrek trus dikawinin.” Arlin berusaha membuat Deco melepaskan pelukannya, walau jujur dia tak ingin melepas pelukan itu.

Kata-kata Arlin tentu saja langsung membuat Deco melepas pelukannya. Ia tersenyum, sebagian beban terasa lepas dari tubuhnya.

Sesungguhnya Deco tak memiliki masalah yang serius. Hanya saja sedari pagi terlalu banyak hal tak diinginkan terjadi di kantornya. Hal ini membuat tubuhnya “drain” dan itulah kenapa ia butuh Arlin sekarang. Bahkan hanya dengan sedikit pelukan saja, rasa lelahnya bisa berkurang.

Deco mengajak Arlin makan nasi goreng kambing yang ada di dekat kantor Arlin sebelum mengantarnya pulang. Kini mereka sudah ada di depan pagar rumah Arlin. Arlin pun melepas seat belt dan bersiap untuk turun, tapi ia kembali teringat pada hal-hal yang dipikirkannya beberapa hari terakhir.

“Kak,” Arlin memanggil Deco pelan.

“Ya?” Deco melepas seat belt-nya dan menghadap ke arah Arlin. Dari nada suaranya, ia sadar Arlin ingin membicarakan sesuatu dengannya.

Who am I?”

“Arlin Nandita,” jawab Deco lantang.

No, I mean who am I in your life?”

You… you are my girl… friend?” Deco mengucapkannya dengan sedikit terbata. Ia berusaha mencari kalimat terbaik agar Arlin bisa langsung memahaminya.

“Ah, okay. A girl friend, with a space.”

Space? What space?”

You said a girl friend, right?”

Yes, girlfriend!”

I thought I was special, but I’m wrong.”

No! You’re not. You’re very special for me, Lin.”

But you said I’m your girl friend. You put a space between girl and friend.”

Oh My God, Arlin!!!” Deco mengucapnya sambil frustasi, namun kemudian tak mampu untuk menahan tawanya. Ia terbahak dan tawanya makin kencang melihat ekspresi di wajah Arlin. Sedangkan Arlin hanya bingung melihat apa yang dilakuakn Deco.

“Lin, aku sayang sama kamu dan aku mau kamu jadi pacar aku,” kata Deco setelah ia bisa mengendalikan dirinya.

“Aku juga sayang sama kamu, tapi maaf aku nggak bisa,” kata Arlin sambil menunduk.

Deco merasa bingung dengan jawaban Arlin. Bukankan dua menit lalu ia masih mempermasalahkan kata girlfriend yang dianggapnya sebagai girl friend? Bukankah itu artinya Arlin berharap ada hubungan lebih di antara mereka? Kenapa sekarang ia justru menolak? “Kenapa nggak bisa? Bukannya kamu berharap hubungan kita lebih dari sekadar teman?”

Air mulai menggenang di pelupuk mata Arlin. “Iya, aku emang mau banget kita lebih dari sekadar teman. Tapi status kamu bikin aku nggak bisa.”

“Status? Status apa? Aku single, belum nikah jadi bukan suami orang, Lin.”

“Status kamu yang mantan pacarnya Litia!” Arlin mengucapkannya dengan berteriak. Air mata yang coba ditahannya pun mulai meluncur, membasahi pipinya.

Sorry, sorry. Aku nggak paham nih maksud kamu gimana. Emangnya kenapa kalau aku mantan pacarnya Lit? Itu udah 8 tahun lalu, Lin. Aku nggak punya hubungan apapun lagi dengan Lit dan perempuan lain!” Deco memberi penekan pada dua kalimat terakhirnya.

“Kamu tahu kan kalau aku dan Litia itu sahabatan?”

Yes, I know it well! Aku juga tahu kamu terima video call dari Lit waktu kamu di apartemenku weekend lalu. But, what’s the point? I don’t get it.

“Litia masih sayang sama kamu dan aku nggak mungkin bisa terima perasaan kamu. Aku mesti ngomong apa ke Litia kalau dia tahu kita punya hubungan?” Di sini Arlin berharap seandainya ia dan Deco bertemu tanpa masalalu di masa SMA, pasti kisahnya tak akan jadi serumit ini.

“Lin, kamu ini ngomong apa sih? Litia udah nikah dan dari mana kamu tahu kalau Litia punya perasaan sama aku? Ketemu dia aja aku udah nggak pernah. Don’t be complicated!” Deco mulai kesal dengan Arlin yang dirasanya terlalu rumit. Baginya hubungan ini adalah tentang dia dan Arlin, tidak sedikit pun Deco menganggap Litia ada di antara mereka.

I just know it.

What did you know?” cecar Deco.

“Dia masih nyimpen foto kamu di kamarnya. Foto kita bertiga waktu abis nonton Kungfu Panda sepulang sekolah.”

“Lin, sepuluh tahun kenal sama Litia apa dia nggak pernah cerita kenapa dulu kami putus?”

Arlin diam. Memikirkan bagaimana Deco tahu jika Litia tak pernah menceritakan alasan mereka putus.

“Aku sayang sama kamu, Lin. Dari dulu, dari waktu kita sering main bertiga sama Litia.”

“Maksud kamu?”

“iya, aku tuh sayangnya sama kamu Arlin, bukan Litia.”

Arlin kembali diam, berusaha mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan Deco padanya.

“Oke, kayaknya obrolan kita udah cukup sampai di sini aja deh, Lin. Sekarang kamu masuk ke rumah dan istirahat. Kamu mandi pakai air hangat biar rileks. Besok kita ngobrol lagi kalau kamu udah tenang ya.”

Arlin pun menuruti perkataan Deco, untuk segera masuk ke rumah dan beristirahat.

***

Di kamarnya, Deco membuka laptop dan mencari email dari Litia beberapa bulan lalu. Ya, Litia sempat mengirimkan email padanya. Di email itu Litia mengirimkan undangan pernikahannya, meminta Deco untuk datang. Sayangnya, pernikahan Litia bertepatan dengan hari pernikahan sepupunya sehingga ia tak bisa hadir.

Selain undangan, di email itu Litia juga menuliskan bahwa ia memaafkan kesalahan Deco di masa lalu. Hal inilah yang membuat Deco tak lagi merasa bersalah pada Litia dan ketika akhirnya takdir membawanya bertemu kembali dengan Arlin di Hong Kong, Deco berjanji untuk tak akan menyiakan kesempatan ini.

Dear Litia,
How are you? I hope you’re doing well even California is so hot right now.
Well, I don’t know how to start Lit, but I do need your help.
Please give me your phone number or Skype id so I can call you soon.

Deco bergegas mandi setelah mengirim email untuk Litia. Perbedaan waktu 14 jam lebih lambat membuat Litia segera membalas email itu, karena di sana masih siang. Ia memberikan nomor Whatsapp-nya. Deco pun akhirnya menghubungi Litia melalui Whatsapp dan menjelaskan masalah yang dialaminya. Litia sempat terbahak mendengar penjelasan Deco, tak percaya Arlin berpikir demikian. Sebagian dari kesalahan pahaman ini memang disebabkan oleh Litia. Ia bersalah karena tak pernah menjelaskan perasaannya pada Arlin.

***

Litia: Oh, jadi cowok yang lo maksud itu Deco, Beb?

Arlin melonjak kaget membaca chat dari Litia. “Dari mana dia tahu?” batinnya.

Arlin: Lo tahu dari siapa?
Litia: Ya dari laki lo lah, siapa lagi?
Arlin: Laki gue?
Litia: Iya, si Deco. Laki lo!

Arlin segera menekan icon telepon untuk berbicara langsung dengan Litia. Tentu saja ia butuh penjelasan dari sahabatnya ini.

Obrolan Arlin dan Litia berlangsung selama 2,5 jam. Litia berusaha menjelaskan sedetil mungkin pada Arlin apa yang terjadi selama ini antara dia dan Deco. Deco, cinta pertama Litia dan Arlin adalah sahabat pertama Litia. Arlin adalah satu-satunya anak di sekolah yang mendekatinya bukan karena status keluarganya, Arlin benar-benar sosok yang tulus berteman dengan Litia, membantu Litia belajar, menemaninya pergi ke mana pun tanpa mengeluh. Arlin adalah orang yang berarti dalam hidup Litia, itulah sebabnya saat Deco mengatakan bahwa yang disukainya adalah Arlin, Litia hanya bisa diam. Ia takut jika harus kehilangan Deco dan Arlin di waktu bersamaan karena Litia kira Deco akan langsung mendekati Arlin setelah putus. Namun ternyata Deco memilih untuk kuliah di luar negeri, karena sadar tak ingin menyakiti Litia lebih banyak lagi dengan bersama Arlin. Deco berjanji bahwa dia hanya akan mendekati Arlin jika Litia sudah memaafkannya.

***

Handphone Deco berdering. Segera diraihnya benda berukuran 6,1″ itu. Matanya langsung membelalak saat melihat nama Arlin Nandita di layar.

“Ya, Lin. Ada apa? Kok pagi banget udah nelpon.”

Morning, pacar!”

“Eh, tadi kamu bilang apa?”

“Ih, sebel!”

“Hahahaha… Apa sih? Tadi kamu bilang apa? Aku nggak jelas dengernya,” Deco berusaha meyakinkan pendengarannya.

Morning Deco, my boy friend!”

Wait, did you put a space between boy and friend?”

Keduanya tertawa. Menikmati hari Kamis yang terasa lebih manis dari hari-hari sebelumnya. Arlin yang apa adanya selalu bisa membuat Deco tersenyum dan bahkan tertawa. Termasuk pada kejutannya pagi ini dengan mengucapkan, “I love you” sebelum menutup telepon dan membuat Deco tak punya kesempatan untuk mengucapkannya.