Mimpi

Di balkon depan kamar aku menengadahkan wajahku, menatap langit yang hari ini terlihat cerah, sama seperti wajahmu saat tersenyum. “Aku rindu,” ucapku pelan sambil memicingkan mata karena cahaya matahari yang terlalu terang.
“Hai,” Mike, tetangga sebelah kamarku, menyapa. Membuyarkan lamunanku tentangmu.
“Hai, morning Mike,” sapaku.
“Tumben keliatan pagi-pagi di rumah.”
“Hahaha… iya nih, lagi ngambil cuti. Bosen kerja mulu.”
“Cuti di rumah doang?”
“Iya Mike, cita-cita gue pengen tidur.”
“Aneh lu emang,” katanya sambil terkekeh. “Yauda gue duluan ya, baik-baik lu di rumah,” lanjutnya sebelum berlalu.
Aku masuk kembali ke kamar, tak lama setelah Mike menghilang dari hadapanku.
Tak cuma Mike, atasanku di kantor pun mengatakan hal yang sama. Katanya aku aneh karena izin cuti hanya untuk tidur di rumah. Dulu tiga bulan sekali aku selalu ambil cuti untuk pergi liburan, tapi setahun terakhir aku banyak menghabiskan waktu cutiku hanya untuk tidur di rumah.
Selain karena beban perkerjaan, di momen inilah aku punya banyak waktu untuk bertemu dengan dia. Hanya dengan tidur seharian dan tanpa gangguan pekerjaan, kebersamaanku dengannya pun bisa bertahan lama. Kita bisa bercerita tentang hari-hari yang telah berlalu, meski tak lagi bisa saling bertemu.
Hari ini, seharusnya jadi ulang tahunnya yang ke-33. “Selamat ulang tahun kekasihku di surga. Aku akan tidur seharian hari ini, jadi tolong datanglah ke mimpiku. Ceritakan hari-hari indahmu di sana, agar terhapus sedihku karena kehilanganmu.”

Ruang Asing

Rasa percaya diriku masih sangat penuh ketika memasuki ruangan. Terdengar lagu-lagu romantis diputar untuk memeriahkan suasana. Seorang perempuan menyambutku, memberikan salam selamat datang. Aku masuk ke dalam ruangan, melihat senyum-senyum bahagia dari orang-orang yang tak kukenal.

Aku terus melangkahkan kaki, ikut mengantri pada barisan untuk bersalaman pada pemilik acara. Dua keluarga yang sedang berbahagia terlihat menyebar senyum dari posisiku berdiri saat ini. Di depanku, sepasang pria dan wanita bergandengan tangan mesra, sedang di belakangku ada ibu dan bapak setengah baya yang juga tak kalah mesra. Sedikit miris melihat mereka, karena saat ini aku sedang sendirian.

Kakiku terus melangkah hingga kini ada di hadapan para mempelai. Keduanya adalah orang-orang yang kukenal sejak beberapa tahun lalu. Kuucapkan selamat pada mereka lalu sang mempelai wanita mengucapkan terima kasih dan bertanya, “Are you okay?” Aku pun tersenyum dan mengangguk untuk menjawab pertanyaannya, kemudian terus melangkah turun ke panggung karena tak mau mengganggu antrian.

Kuedarkan pandangan, mencari orang-orang yang mungkin kukenal sehingga kami dapat berbincang sambil menikmati hidangan. Setelah beberapa saat, mataku menatap segera segerombolan orang. Mereka adalah teman-teman kuliahku, sama dengan kedua mempelai yang berbahagia dia panggung sana.

Kulangkahkan kakiku menuju ke arah sekumpulan orang yang kukenal itu. “Haiii…” sapaku.

“Eh, haiii…” Sebagian dari mereka menjawab dan menoleh ke arahku. Kemudian menyalami dan memelukku satu per satu sebagai tanda bahwa kami saling mengenal.

“Sendirian?” kata perempuan dengan rambut sebahu yang ada di sampingku.

“Iya,” balasku.

I heard the the news,” kata pria jangkung yang berdiri di hadapanku. “Are you okay?” lanjutnya.

I do fine. Thanks, Bro!” jawabku sambil memberikan senyum setulus mungkin. Mencoba menunjukkan bahwa jawabanku sesuai dengan keadaanku saat ini.

Suasana ini terasa begitu asing bagiku. Dulu, datang ke pesta pernikahan bersamamu terasa begitu menyenangkan. Kita akan saling menebar senyum di hapadan orang-orang yang kita kenal. Menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang hampir semuanya sama, “Kapan nyusul?” Tapi hari ini semua jadi beda, tidak lagi ada kamu di sampingku, jadi tidak ada pula pertanyaan itu lagi.

Aku pun baru sadar, ternyata duniaku terasa sangat asing tanpamu. Bertahun-tahun bersama, semua orang yang kukenal justru mencarimu saat hanya ada aku. Mereka bertanya bagaimana keadaanku, untuk sekadar berbasa-basi ingin tahu bagaimana aku bertahan hidup tanpamu.

Seandainya aku tahu apa alasan dari hancurnya hubungan kita, ingin sekali kuceritakan semua. Agar mereka mengerti dan memahami bahwa perpisahan juga butuh keberanian dan aku berani untuk menghadapinya.