Tidak Sia-sia

Semua bilang aku hanya menjalani hidup yang sia-sia. Namun bagiku, tidak ada hal yang sia-sia di dunia ini. Apa yang aku jalani saat ini adalah bagian dari perjalanan hidup. Kusebut ini takdir, karena sekuat apapun aku melawannya, hatiku tak mampu berubah.

Bagiku, sia-sia berarti hal tersebut tidak berguna. Sedangkan aku merasakan banyak manfaat dari semua ini. Jadi aku tidak sedang menjalani hal yang sia-sia, bukan? Lagi pula semua hal di dunia terjadi pasti ada alasannya. Dan aku percaya, semesta membuatku bertemu dengannya bukan untuk jadi sia-sia.

Aku masih ingat dengan jelas, bagaimana hubunganku dan ayah-ibu merenggang selama 6 bulan karena pilihan hidupku ini. Tapi sungguh, sekuat apapun aku menyangkal, semuanya terlalu sulit untuk kuakhiri. Saat itu ayah bilang, “Apa kamu nggak mikir ke depannya nanti gimana? Kamu ngapain sih seperti ini? Apa ayah gak pernah ngajarin kamu untuk mikir dulu sebelum bertindak, Cha?”

Lika, temanku sejak SMA juga ngatakan hal yang serupa. Katanya, “Cha, lo beneran mau jalanin hubungan lo itu? Ngapain sih? Lo kan tahu ujungnya nanti gimana.” Saat itu kukatakan pada Lika, “Gue cuma mau menikmati hidup gue. Dan gue rasa ketemu sama Tian itu takdir yang harus gue jalanin, Ka. Lagian, gak ada hal yang sia-sia di dunia ini. Kita harus bisa ngambil yang positifnya.”

Entahlah, mungkin aku denial. Mungkin juga aku naif atau memang bodoh. Tapi begitulah aku menjalani hidupku, juga hubunganku dan Tian yang kini berjalan menuju 2 tahun.

Enam bulan pertama, ayah dan ibu bahkan seolah tidak menganggapku sebagai anaknya. Kami tak berbagi kabar selama kurang lebih 6 bulan. Namun mungkin ayah dan ibu sadar, mendiamkanku tidak akan membuat semuanya berakhir begitu saja. Maka mereka mengalah, menerima keputusanku, dan hubungan kami membaik.

Berbeda dengan lingkunganku yang begitu menolak, lingkungan Tian justru sangat supportive. Aku bahkan sangat dekat dengan Mama Maria, ibunda Tian.

Sebulan terakhir, aku dan Tian tidak bertemu. Kami sedang berada dalam masa “berpikir”. Ya, kami tahu seperti apa hubungan kami akan berakhir, karena terlalu sulit untuk bersama.

Selama 2 tahun ini, aku dan Tian tidak punya masalah dalam hubungan. Dia selalu membuatku bahagia, tidak sekali pun aku menangis dibuatnya. Pertengkaran kecil memang sesekali terjadi, namun itu biasanya hanya karena miskomunikasi di antara kami. Entah karena dia telat menjemput atau tak memberi kabar saat keasyikan main game bersama teman-temannya.

Kami sama-sama tahu, ini semua akan berakhir. Itulah sebabnya aku dan Tian membuat sebuah perjanjian untuk tidak membahas masalah ini sebelum hubungan kami berusia 2 tahun. Setidaknya, kami memberi waktu 2 tahun dalam hubungan ini agar kami benar-benar bisa menikmatinya. Seolah 2 tahun itu adalah vonis dokter sebelum semuanya berakhir.

Dan di sinilah kami sekarang, duduk berhadapan di restoran favorit kami. Dua mangkuk soto betawi dengan 3 piring nasi sudah tak bersisa. Di meja hanya ada segelas es teh manis dan es jeruk.

So, how do we start?” tanya Tian.

“Hm…” aku bergumam sambil mengaduk es jeruk di depanku yang esnya mulai mencair, sehingga meninggalkan lapisan bening di bagian paling atas.

“Icha..”

“Ya?”

“Makasih ya, udah ngizinin aku jadi bagian penting dalam hidup kamu 2 tahun ini. Aku tahu suatu hari kita akan ada di titik ini. Dari awal aku tahu, tapi aku terus melangkah ke kamu karena aku tahu bareng sama kamu itu sesuatu yang berharga buat aku, Cha. I do love you.”

So do I, Tian. Gak pernah sedikit pun aku ragu sama perasaan kamu, meski aku tahu semuanya akan berakhir. Makasih untuk bikin aku tumbuh jadi manusia yang jauh lebih baik 2 tahun ini. Maafin ya kalau aku sering rewel.”

“Hahaha… dan aku mungkin bakal kangen banget sama rewelnya kamu itu, Cha!”

Tidak ada kata putus, tapi kami sepakat untuk membuat semuanya berakhir. Karena dari awal kami tahu, hanya sampai di titik ini jalan yang perlu kami lalui bersama sebelum melangkah ke persimpangan masing-masing.

“Bye, Christian.”

“Bye, Annissa.”

Leave a comment