Setiap manusia punya cara yang berbeda untuk menunjukkan rasa sayang, begitu pun aku dan dia. Language of love atau bahasa cinta kami sangat berbeda. Aku sangat menyukai uang dan kemewahan, memberikan hadiah yang mahal atau mentraktirnya liburan mewah di akhir tahun adalah sebuah bentuk perhatianku padanya. Meski baginya caraku adalah sebuah bentuk pemborosan.
Sedangkan dia, menurutku sangat kolot, punya prinsip bahwa apapun keadaannya kita harus selalu bersama. Ketemu dan ngobrol ngalor-ngidul baginya jadi tanda cinta. Di mana bagiku, aku bisa memanfaatkan sebagian waktu dari obrolan nggak jelas itu untuk bekerja dan menghasilkan uang.
Banyak orang bilang, “Gila lo, bersyukur tahu punya pacar kayak Raka. Jam berapa pun lo pulang selalu mau jemput. Ke mana pun lo pergi dia mau ikut. Bahkan lo belum bangun aja dia udah masakin sarapan buat lo.”
Kupikir, mungkin itu ada benarnya. Tapi mereka lupa, aku yang menjalani semua ini. Aku kadang merasa lelah dengan perhatiannya yang berlebihan sampai membuatku merasa lelah dan tak bisa menjadi diriku sendiri.
Aku masih terlelap dalam pekerjaanku saat dia ke apartemenku dan menyiapkan makan malam. “Le, makan dulu yuk! Aku beliin soto betawi kesukaan kamu di deket kantor.”
“Yes, coming!” jawabku sambil berjalan menuju ke meja makan.
Di sana sudah terjadi semangkuk soto betawi dengan isian daging. Raka menambahkan satu sendok makan irisan daun bawang dan satu sendok teh sambal. Aku makan sambil mendengarkannya bercerita tentang kehidupannya di kantor. Jujur, aku tak ingin mendengarkannya. Saat ini, aku ingin dia diam. Air mataku tak lagi bisa terbendung, masuk ke dalam kuah soto betawi yang sedang tak bisa untuk kunikmati.
“Ka,” panggilku dengan suara yang sedikit bergetar menahan segala rasa yang berkecamuk di dada.
“Ya,” ia pun mengangkat wajahnya dan tersadar bahwa aku sedang menangis. “Kamu kenapa?” tanyanya.
“Aku nggak suka soto betawi dengan isian daging. Aku benci daun bawang. Aku benci kamu yang nggak pernah nanya tapi ngerasa tahu semuanya.”
Wajahnya tampak kebingungan mendengar semua perkataanku. “Kenapa kamu nggak bilang?”
“Aku selalu bilang aku suka jeroan, tapi kamu selalu bilang kalo itu nggak bagus, mendingan makan daging aja. Soto ini, bukan soto kesukaanku. Ini kesukaan kamu!”
Raka diam. Mungkin ia tak percaya aku bisa mengeluarkan amarahku.
“You’re controlling my life, Ka! Sadar nggak kamu? Di dalam hubungan kita, selalu harus kamu yang ambil keputusan. Kamu selalu ambil keputusan tanpa pernah melibatkan aku. Termasuk soal ini,” aku menunjukkan postingan seorang teman yang mengucapkan selamat pada Raka karena berhasil mengambil beasiswa untuk melanjutkan S2.