Pada Waktunya.

Jangan tanya mengapa aku berhenti menampilkan wajahmu di setiap tidurku. Pada waktunya semua akan begitu. Mengubur dalam-dalam semua yang pernah terlalui, tanpa harus mengurai lagi apa yang telah pernah terjadi. Pada waktunya, aku memang harus melepasmu, cepat atau lambat, waktu akan melumat raga dan jiwamu. Jangan iri pada mereka yang masih mengecap bahagia, pada waktunya, derita pun akan menjadi akhir yang bahagia.

Jangan menangis, karena bukan itu yang aku inginkan. Jangan tersenyum, karena aku tidak melihat seulas lengkungan palsu ketidakrelaan. Pada waktunya, kamu atau aku akan pergi, semua hanya masalah waktu.

 

 

 

..A..

Biarlah.

Kamu bergerak semakin ke timur, sedang aku terus menuju barat. Bila tujuan kita adalah bersama, mungkinkah kita bisa?

Jalanmu ke timur, adalah perintah Sang Waktu, saat rindu kita bukanlah hal yang menjadi segalanya. Kamu mentautkan mimpimu di negeri yang belum kamu ketahui, melangkah menuju mimpi yang katamu untuk kita -atau hanya untukmu saja?-

Beribu argumenmu menyadarkanku, bahwa hidup kita tak lagi sama. Suaramu di telepon setelah 6 bulan kita terpisah ruang dan waktu, menyiratkan bahwa aku tak lagi nomor satu. Kamu terlalu tenggelam dalam mimpi untuk menjadi direktur perusahaan itu, tanpa peduli aku masih disini, menunggu, kamu yang dulu.

Tak apa.

Bukannya aku sudah bisa 6 bulan ini menjalani hari dengan kealpaanmu. Dengan rindu yang hanya Tuhan saja yang tahu. Kamu tak perlu lagi mempertanyakan keadaanku. Tak perlu lagi tahu mengapa akhirnya aku tak lagi mau menunggu. Seperti mentari yang selalu terbit setiap hari, aku akan selalu mendoakanmu, setiap pagi, tetapi maafkanlah bahwa merelakanmu pergi adalah jalan terbaik.

p.s Untuk kamu yang bertanya mengapa aku berubah.

 

..A..

Ulang tahun ke-8

Awalnya, aku gak tahu harus berbuat apa ketika hadiah ini diberikan kepadaku. Ragu, pasti ada. “Yakinkah aku akan hadiah ini?”, aku mulai bertanya. Mulailah aku meyakinkan diri, menerima hadiah ini dengan suka cita. Aku pupuk, rawat, siram setiap hari. Entahlah, tapi hadiah ini aku ingin rawat hingga saatnya tiba. Hadiah ini berkembang, terus tanpa henti. Hingga akhirnya tumbuh.

Dengan balutan kain putih dan masih berlumur darah, suster memberikan hadiah ini kepadaku dan suamiku, keluarga kecil kami. Suamiku mengambilnya dari gendonganku dan membisikkan asma Allah di telinga hadiah ini, dua kali, kanan dan kiri. Matanya terpejam, mulutnya menangis dan jari-jemari kecilnya masih menggenggam. “mungkin kamu kedinginan?”, gumamku saat itu. Aku eratkan gendonganku, mendekapmu semakin dalam dan merengkuhmu. Memastikan letakmu di tanganku dalam posisi yang benar serta nyaman. Dan ayahmu, dia ada disamping kita, menjaga kita, nak. Tangismu berhenti sejenak, mata kecil mu terbuka dan mulai hari itu, Ibu jatuh cinta pada pandangan pertama.

Ya, kamu putri pertama kami – Azzahra Pramesti Putri Wardhana.

Dan semenjak hari itu, tanpa diminta, kami – ibu dan ayah – akan ikhlas menerima kamu, nak. Merawat dan menjagamu, seperti kami menjaga diri kami sendiri. Mungkin lebih. Menerima kamu sebagai hadiah terindah dariNya di hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-8 tahun.

Terima kasih Tuhan.

Denpasar, 13 Februari 1997.

Image

-B-

Surat Ke Surga

Selamat malam Tuhan. Aku salah seorang umatmu yang ingin mengirim sebuah pesan untuk seseorang yang aku yakini kini berada di surga. Tolong sampaikan surat ini, Tuhan. Terima kasih sebelumnya. Aku percaya, engkau Maha Pengasih dan Penyanyang, dan surat ini pun sebagai bukti kasih dan sayangku padaMu, juga kaumMu.

===================================================================================================
Jogja, Jumat kedua bulan Oktober 2013

Dear Setia, bagaimana kabarmu di surga? Bidadari di sana jauh lebih cantik dari aku ya pastinya. Tak apa, aku percaya, meski mereka lebih cantik dan seksi, cintamu pasti masih untukku. Seperti yang selalu kamu bilang, bahwa aku satu-satunya. Ya, kamu benar, aku satu-satunya. Satu-satunya perempuan yang akan kamu nikahi, meski akhirnya harus kamu tinggalkan karena Tuhan telah memanggilmu lebih dulu.

Aku ingat betul hari itu, kekasih. Pukul 7 pagi saat aku masih bermalas-malasan di kamar, handphone-ku berdering dan terlihat namamu di layar. Dalam pembicaraan kita pagi itu, kamu bilang sedang kecapaian karena pekerjaan kantor yang menumpuk. Dan aku pun mengingatkanmu untuk jangan lupa minum vitamin dan makan yang teratur. Dalam pembicaraan itu pula, sayang, ingatkah kamu bahwa kita masih membahas liburan akhir tahun di Bali. Liburan yang kamu janjikan sebagai hadiah wisudaku. Bahkan 2 tiket pesawat sudah kamu pesan, Jakarta-Bali, itinerary pun sudah ku rancang karena kamu bilang ini untukku maka aku bebas menentukan kemana kita akan pergi nanti. Demi perjalanan ke Bali yang kita rancang, terpaksa 3 bulan ini kamu tak berkunjung ke kotaku. Selain menabung secara materi, juga menabung tambahan hari cuti, agar kita bisa puas selama berlibur nanti.

Kekasih, aku sedih ketika harus mengingat ini. Minggu terakhir di Bulan Juni, menjadi minggu terakhir kala ku dengar suaramu di telpon. Selasa siang kamu masih sempat mengirim pesan sebelum meeting  dengan klien, “Perempuanku yang kuat, bersabarlah, waktu akan segera berlalu dan kita akan segera bertemu”, begitu katamu. Handphone-ku yang sedang mati membuatku tak sempat untuk membaca pesanmu kala itu, apalagi untuk membalasnya, membalas ucapan terima kasih karena selalu menguatkanku di tengah jarak yang sulit untuk ditembus waktu.

Kamu sudah terbaring di rumah sakit kala ku baca pesanmu, sayang. Sore itu, Jogja diselimuti awan kelabu. Awan seakan tahu, ia berempati, lalu menjadi kelabu sepertiku. Kelabu karena mendengar kabar dari teman kantormu bahwa kamu mengalami kecelakaan sepulangnya kamu bertemu klien. Mobilmu bertabrakan dengan mobil lain dari arah yang berlawanan. Aku tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi, aku bahkan tidak peduli. Bagiku keadaanmu jauh lebih penting dari apapun sore itu.

Jogja akhirnya diguyur hujan setelah mendung yang tak lagi terbendung. Tak ada pesawat yang terbang malam itu. Bergegas kucari tiket kereta, namun tak ada yang berangkat dalam waktu dekat. Malam itu, aku tidur dengan keadaan tak tenang, sayang. Kamu pasti bisa membayangkannya, tapi jangan bersedih, itu sudah berlalu.

Malam itu aku bermimpi, aku sedang berlibur bersama seorang teman. Dalam mimpiku, aku sempat menelponmu, ku bilang, “Bertahan sayang, kamu kuat, kamu hebat. Kita akan segera bertemu, aku akan segera di sampingmu”. Aku terbangun dan menangis setelah mimpi berakhir. Pikiranku terus tertuju padamu.

Rabu siang aku berangkat ke kotamu, setelah hampir dua jam pesawat yang kutumpangi delay. Aku langsung menuju ke rumah sakit tempat kamu di rawat. Di sana kulihat ayah ibumu yang masih tersedu, juga adik perempuanmu yang langsung memelukku kala kami bertemu sore itu. Dia terus menyebut namamu sambil menunjuk ruang tempat kamu di rawat. Lewat kaca, aku melihatmu dengan selang-selang yang melilit tubuhmu. Ibu bilang, setelah operasi tadi pagi kamu belum juga sadar. Malamnya kamu sempat sadar, bahkan sempat tersenyum saat melihat kami yang di sampingmu.

Keesokan harinya, entah bagaimana, keadaanmu justru memburuk. Aku tidak sempat mendengarkan keterangan dokter karena terlanjur sedih melihatmu yang tiba-tiba kejang. Kami semua keluar ruangan, dan dokter bergegas mengambil tindakan. Ibumu tersedu di pelukan ayahmu, aku dan adikmu saling memeluk dan menangis. Aku tidak akan lupa hari itu, sayang. Kala dokter keluar ruangan dengan wajah yang lesu karena tak berhasil menyelamatkanmu. Sayangnya aku hanya mengingat itu, selanjutnya yang aku ingat adalah kami semua sudah di rumahmu. Pemakamanmu dilangsungkan keesokan harinya, hari jumat, hari yang katanya penuh berkah. Malam itu kulihat tak hanya aku yang ternyata menitikkan air mata, semua temanmu datang dengan mata yang sembab. Satu demi satu temanmu yang datang memelukku, mereka bilang aku harus kuat.

Sayang, empat bulan berjalan. Entah sudah berapa tetes air mata yang tercurah karena kesedihan yang terus bergelayut sejak kepergianmu. Hari ini sayang, lewat surat yang kutitipkan pada Tuhan ini, ku kabarkan padamu bahwa aku sudah resmi jadi sarjana sejak seminggu lalu. Tiket ke Bali sudah di tanganku, aku akan menjelajahi  Bali tanpamu. Tapi kamu tak perlu khawatir, sayang, aku pasti baik-baik saja. Aku akan mengunjungi tempat-tempat yang sudah kita sepakati sebelumnya. Sekali lagi jangan khawatir, sayang, kamu bisa mengawasiku dari surga bukan?

Melalui Bali mungkin aku bisa menemuimu. Merasakan kehadiranmu yang tak lagi ada. Pada tempat-tempat yang kukunjungi nanti, akan ku kabarkan pada mereka bahwa seharusnya aku datang tak sendiri, harusnya aku berdua denganmu. Lewat tempat-tempat itu, akan kutitipkan rindu demi rindu yang kian menggebu di dada ini, sayang.
Aku mencintaimu, selalu. Tapi kamu selalu benci melihatku menangis, maka melalui Bali, kuharap engkau menghapus air mataku. Lewat deru ombak di pantai, kan ku titipkan salam untukmu, semoga ia sempat menyampaikannya padamu.

Sayang, ijinkan aku untuk melepasmu dari kegalauan hariku. Ijinkan aku untuk melepas kepergianmu dengan senyuman, bukan lagi dengan tangisan. Bukan aku bahagia kehilanganmu, kamu tahu itu, tapi aku mulai belajar, untuk apa aku menyesali kepergianmu jika kini Tuhan nyatanya justru memberimu segalanya? Apalah aku dibanding Ia, sayang? Aku hanya ingin melihatmu bahagia, dan aku tahu, bahagiamu adalah dengan melihat kami yang kau tinggalkan bahagia, bukan begitu, sayang?

Aku bersyukur Tuhan sempat memberiku kesempatan untuk mendampingimu, dan memberi jutaan kenangan manis tentangmu. Terima kasih, sayang, empat tahun ini sudah menjadi lelaki yang setia mendampingiku, seperti namamu, Setia Mahendra. Berbahagialah di surga, sayang, kuikhlaskan engkau dalam pelukan Sang Pencipta.  Terima kasih untuk segalanya, dan sampai bertemu di surga.

Yang mencintaimu selalu,
Layrizha Devania

-S-