Dia

Hujannya deras. Jalanan macet. Tanggal muda. Jumat malam. How’s perfect day for Jakarta’s traffic!

Setelah meeting dengan klien di daerah Gatot Subroto, aku meminta Pak Kurdi untuk mampir ke FX Sudirman. Sambil nunggu jalanan sedikit lengang, sekalian mau cari kado buat Lupito; sahabatku sejak SMP.

Aku membuka iphone ku dan mencari namanya, Lupis – begitu aku menamai Lupito, ya, karena dia manusia pemakan lupis!

Lupis itu enak, Sasya, kenyal. Dibuatnya penuh perjuangan, kamu harus telatan, masaknya aja bisa berjam-jam. Kamu bayangin deh, kalo lupis itu bercampur dengan gula Jawa cair. Lezaaaat”, cerocosnya panjang lebar.

Kenapa, Sya? Kamu kena macet, terus bosen di jalan dan menelpon aku?”, gerutunya.

“Hahaha, apaan sih, Pis. Sensi banget, lagi mens ya kamu?”

Dih gitu. Kenape? Buruan ngomong, aku mau lanjut meeting nih”

“Jam 8 malam masih aja meeting, nongkronglah sama temen-temen kamu. Rajin amat!”

“Bawel deh, kenape?”

“Lo mau kado apa? Jangan mahal-mahal ya, budget gue cuma 50 ribu rupiah”

“Sial!! Kado aja gue pake lupis kalo budget lo cuma segitu”, sewotnya.

Oke, gue kadoin lupis ya. Fix! Thank you, Lupiiis, selamat meeting!”, buru-buru aku tutup teleponnya, sebelum dia ngomel lagi.

Sesampainya di FX Sudirman, Pak Kurdi menurunkan aku di lobby atas dan dia mencari parkir.

Saya cari parkir dulu ya, neng”, tuturnya.

Aku melangkahkan kaki. Mengganti high heels 4 senti ku dengan flat shoes favorit sejak kuliah. Melepas blazer dan mengikat ekor kuda rambutku.

Rasa lapar dan haus menyerangku, maklum, setelah meeting dengan klien sejak tadi siang, aku belum makan. Camilan yang disediain saat meeting tadi, hanya mampu bertahan sebentar.

Aku putuskan memasuki coffee shop di area depan, dekat lobby aku diturunkan Pak Kurdi. Sudah aku bayangkan roti bakar Srikaya kesukaanku dan segelas es coklat.

“Hi, Mba Sasya! Udah lama gak kelihatan. Lagi sibuk ya, mba? Kucel amat”, sapa ramah Hilmi, waitres coffee shop.

“Hii, Hilmi. Iya nih, makin lama makin gila hidup di Jakarta. Jalanannya makin gak masuk akal. Semoga proyek MTR ini segera selesai”, harapku.

Hahaha. Semoga bisa mengurangi macetnya Jakarta ya, mba. Mau duduk di tempat biasa, mba?”

“Kosong ya? Boleh deh kalo ada”

Hilmi meninggalkan aku dengan buku menu – aku memang memintanya memberikan waktu kepadaku untuk memesan, pengen coba menu baru lainnya.

Saat membolak-balikkan buku untuk memilih menu, mataku terhenti pada sesosok yang aku kenal dengan baik, meski aku hanya melihatnya dari samping.

Pria tegap, dengan tinggi 175 senti, matanya yang tajam, hidungnya yang mancung, dua lesung pipi dan tawanya yang khas.

“Damn, ngapain dia ada disini? Bukannya dia melanjutkan sekolah di Australi?”, aku bertanya-tanya.

To: Lupis

Message:

Gue nglihat laki-laki itu, Pis. Bukannya dia lagi sekolah di Australi ya? Pleaseeeee, gue kudu gimana nih?

*Message send*

Semenit.

Dua menit.

Lima menit.

Si Lupis tidak membalas pesanku. Dibaca pun tidak. 

“Sial nih bocah, giliran lagi dibutuhin malah ilang”, gerutuku

Aku meraih iphoneku dari dalam tas Salvatore Ferragamo dan memencet nomor Pak Kurdi.

“Halo, Pak Kurdi, bisa tolong jemput saya di lobby depan sekarang, pak?”, pintaku.

Baik, neng”

Sementara itu, aku sibuk membereskan barang-barangku. Buru-buru pengen menghilang dari tempat ini. Sebelum dia menyadari bahwa ini aku.

Tapi.

Oh My God!

Kami bertemu mata. Dia menatapku. Sementara aku sibuk berdoa dalam hati agar dia tidak mendatangiku.

Tolong, jangan disini. Aku mohon.

Aku buru-buru turun.

Tapi.

Langkahku terhenti.

Tanganku seperti ada yang memegang.

Sasya Utania Marcia Sulaiman.

 

-B-

Leave a comment